19 Desember 2021

KISAH ADU TANDING PARA PENDEKAR KUNGFU TIONGHOA MELAWAN JAWARA-JAWARA SILAT SUMEDANG

GELAGAT.ID - Sejak Dekade 1970-an hingga dekade 1990an, Film-film Kungfu produksi Hongkong membanjiri Bioskop dan rental-rental kaset video di tanah air, termasuk di Sumedang.

Rumah saya dulu di Jalan Pangeran Geusan Ulun No. 136 Sumedang, tepat di seberang Kantor BNI 46 Sumedang, dan kini telah menjadi sebuah Dealer Motor. Hanya sekitar 50 meter dari rumah saya dulu, ada Gedung Bioskop Diana Theatere yang sekarang menjadi kantor sebuah bank syariah. Jadi, tak heran bila saya cukup mengingat film-film hongkong masa-masa itu.

Contoh Cuplikan Film Kungfu 
Melalui film-film itulah Kungfu sebagai produk kebudayaan China menyebar dan mendunia. Harus diakui, di jaman itu, masyarakat banyak lebih mengenal gaya berkelahi Bruce Lee dibanding Syabandar, Cimande, atau aliran-aliran lainnya dalam pencak silat.

Padahal, ada kisah menarik tentang Adu Tanding antara para pendekar Kungfu China dengan Jawara Silat Sumedang, di jaman Pangeran Suria Kusumahadinata atau Pangeran Sugih, yang menjadi Bupati Sumedang periode 1836-1882.

Dalam buku “Masjid Agung dan Sekitarnya” yang ditulis oleh Deddi Rustandi, terbit tahun 2013 lalu, di jaman Pangeran Sugih, datanglah serombongan etnis China ke Sumedang.

Entah alasan apa rombongan China ini datang ke Sumedang. Penulis buku itu pun juga tidak menerangkan darimana rombongan itu datang. Penulis buku hanya menerangkan, kedatangan rombongan Tionghoa itu ke Sumedang berdekatan waktunya dengan rencana Pangeran Sugih untuk merelokasi Masjid Agung Sumedang yang mulai dilakukan pada tahun 1850.

Nah, ketika tiba di Sumednag, dalam suatu kesempatan, rombongan etnis Tionghoa itu ingin menunjukkan eksistensi dan budaya mereka, termasuk kelihaian ilmu beladiri kungfu. Dengan lantang mereka mengatakan ingin menjajal kemampuan beladiri jawara-jawara Sumedang.

Tantangan seperti itu, diladeni oleh jawara-jawara silat Sumedang. Gelanggang adu tanding pun segara dibuat. Di kawasan yang saat ini disebut lingkungan Kaum Sumedang, pada saat itu pernah ada sebuah tempat yang disebut "Kalangan", sebuah arena tempat untuk berlatih dan bertanding silat.

Maka bertarunglah para pendekar kungfu dengan jawara-jawara silat Sumedang dengan seru disaksikan oleh Pangeran Sugih, para tokoh dan warga sekitar kota Sumedang serta seluruh rombongan etnis Tionghoa tersebut.

Hasilnya, adu kedigjayaan itu dimenangkan oleh jawara-jawara Sumedang. Rombongan etnis Tionghoa itu mengaku kalah dan menyerah. Sebagai tanda menyerah, mereka menyatakan mengabdikan diri kepada bupati dan para tokoh Sumedang.

Pangeran Sugih pun kemudian memberikan lahan bagi mereka untuk tinggal di Sumedang. Pangeran Sugih menempatkan mereka di sebelah utara alun-alun Sumedang. Nah saat ini, bekas tempat pemukiman rombongan etnis Tionghoa itu kini bernama Lingkungan Gunung Cina, RT.2 RW 4 Kelurahan Regolwetan Kecamatan Sumedang Selatan.

Selanjutnya, karena sudah menyatakan diri siap mengabdi kepada bupati dan para tokoh Sumedang, maka Pangeran Sugih pun kemudian memerintahkan mereka untuk membantu pembangunan Masjid Agung Sumedang.

Hasilnya, warna kebudayaan China nampak dalam arsitektur Masjid Agung Sumedang yang bisa kita lihat hingga saat ini. Yang paling jelas terlihat adalah susunan atap masjid yang bersusun tiga, mirip dengan bangunan-bangunan tradisi Tionghoa.

Warna dan pengaruh kebudayaan China dalam keseharian masyarakat Sumedang yang juga bisa disaksikan bahkan dinikmati hingga saat ini adalah Tahu.

Meski telah populer dengan sebutan TAHU SUMEDANG, tetapi cikal bakal penangan Tahu yang curintik itu dikembangkan oleh warga keturunan etnis Tionghoa bernama Babah Bungkeng. (*/gelagat.id/Kurniawan)

 

Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar