Kita semua tahu, Covid-19 tak cuma mengancam keselamatan nyawa dan rasa aman, tetapi juga kenyamanan dan kewajaran hidup, sebelum ia datang. Fitrah kita yang memang memiliki rasa takut terhadap mati, seperti dipermainkan, diombang-ambing, dihentak-hentak.
Akhir tahun 2020 lalu, saya pernah berbincang dengan seorang teman. Betapa gagahnya ia berkata tak takut dengan Covid-19. Dan dengan agak lantang berujar bahwa Covid-19 cuma rekayasa, sekedar cara konspiratif yang dilakukan untuk menguasai jalan pikiran dan perasaan publik dunia, demi menegakkan satu ideologi tertentu. Karena itu, ia tegas melawan dengan "Ketidakpercayannya".Saya sendiri sudah mendapat vaksin pertama Covid-19 per Pebruari 2021. Saya sempat percaya diri bisa sedikit bebas beraktivitas dalam situasi pandemi. Tapi rasa percaya diri itu sebentar saja. Sebab pada akhir Maret 2021, Bupati Sumedang pun yang paling awal dan telah dua kali mendapat vaksinasi, ternyata harus merasakan terinfeksi, positif terkena Covid-19.
Sampailah pada suatu ketika, memasuki pertengahan tahun 2021. Dalam suasana yang sedikit "longgar" sehabis Hari Raya Iedul Fitri 1442 Hijriah, tiba-tiba terjadi lonjakan kasus positif. Di Kabupaten Sumedang, sirine ambulan tiap hari berbunyi. Rumah sakit kehabisan daya tampung. Dokter dan paramedis mulai menyatakan kelelahan. Dan satu per satu orang yang kami kenal akrab wafat. Saat itulah"ketidakpercayaan" temanku puan pelan-pelan meluntur.
Ia kemudian sama dengan saya, menjadi orang-orang yang takut, dan terus ditakut-takuti oleh narasi kematian. Betapa tidak. Saat itu, di kawasan Kota Sumedang, hampir di setiap lingkungan, menara-menara masjid mengumumkan warga yang meninggal lebih sering dari biasanya.
Bahkan terjadi, dalam satu hari tiga kali pengumuman kematian terdengar dari pengeras suara masjid. Memang tidak semuanya dinyatakan akibat Covid-19. Tetapi suasana sudah terlanjur mencekam.
Satgas penanggulangan Covid-19 Sumedang pada akhir bulan Juni (29/6/) 2021 meriris angka tertinggi lonjakan kasus baru terkonfirmasi positif Covid-19, yakni 122 kasus. Bulan-bulan sebelumnya berada di bawah angka 50 kasus. Tapi itu yang terdeteksi dan tercatat. Asumsinya, dengan persepsi yang masih berbeda, jangankan yang tak bergejala, mereka yang terkena gejala pun tidak serta merta memeriksakan diri. Dan pilihannya ada dua; sembuh total, atau wafat dengan beragam komorbid.
Tapi segalanya terus berjalan. Dan memang haruslah tetap diyakini bahwa Kehidupan dan Kematian semata-mata milik Tuhan. Sebab sulit untuk menjelaskan sebuah fakta yang saya saksikan sendiri di mana seorang tua yang berusia lanjut tidak otomatis terinfeksi Covid-19 sekalipun anaknya yang tinggal dalam satu rumah justru bergejala positif Covid-19 dan nyaris kehilangan nafas akibat sulitnya mendapatkan tabung oksigen. Satu-satunya argumen logis sebagai orang awam soal itu adalah barangkali "daya kekebalan" tubuh orang tua itu memang hebat. Titik.
Daya Kekebalan Tubuh atau Imunitas, itu kata kuncinya. Maka, pemerintah pun sejak Agustus 2021 mendesakkan vaksinasi. Tak tanggung-tanggung, tentara dan polisi terlibat aktif. Bahkan pada titik tertentu menjadi yang terdepan, dengan berbagai program vaksinasi. Tujuannya membangun kekebalan komunitas (heurd immunity). Targetnya berstandar WHO, minimal 70 % warga dalam suatu zona/kawasan kabupaten/kota mendapatkan vaksinasi. Merek vaksinnya macam-macam. Tetapi yang paling umum adalah Sinovac, buatan China.
Akhir November 2021, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang mengumumkan target vaksinasi sudah 70 %. Tinggal kelompok anak usia dini dan orang tua usia lanjut yang belum tergarap maksimal. Maka suasana pun agak sedikit longgar. Setidaknya razia disiplin protokol kesehatan oleh Satpol PP dan Aparat Kepolisian sejak November 2021 tak lagi nampak di permukaan. Kabupaten Sumedang berada pada Level 2 PPKM.
Lantas selesaikan ancaman Covid-19 ? Ternyata tidak.
Konon telah muncul Omicron, varian baru Covid-19 yang telah melanda di sejumlah negara tetangga. Informasinya masih simpang siur. Ada ahli kesehatan yang menyebut lebih berbahaya. Tapi seorang mantan menteri yang juga ahli kesehatan sebaliknya menyebut Omicron tidak seganas varian sebelumnya.
Nah, lagi-lagi fitrah rasa takut pada kematian dan kegalauan kita akan ketidakpastianlah yang "diserang".
Tetapi, seperti kata pepatah, "alah bisa karena biasa". Jika kekebalan tubuh sangat ditunjang oleh cara berfikir kita. maka berfikir positiflah. Toh sudah dua tahun kita hidup dalam situasi pandemi. dan sepanjang tahun ini kita menyaksikan banyak hal, termasuk rasa sedih dan kehilangan.
Senang rasanya, ketika pandemi justru melahirkan cara-cara berfikir baru yang jauh lebih kreatif, open minded, dan meninggikan kembali rasa kemanusiaan kita. Di penghujung tahun ini misalnya, para seniman dan insan kreatif Sumedang bisa kembali berkreasi, sekalipun dengan cara baru yang disebut Hybrid.
Secara global, umat manusia memang bertranformasi dan ber-evolusi menuju suatu tatanan baru, tanpa banyak terjadi pertumpahan darah seperti dekade-dekade sebelumnya.
Di sini, kita pun harus menyadari, bahwa pada tahun-tahun ke depan, sekalipun secara sosial kita telah "sembuh", tetapi "kesembuhan" itu terjadi setelah kita mengalam "sakit". Mari buka pikiran kita, dan berubahlah, menuju kualitas hidup yang lebih baik. (*)
-- Kurniawan Abdurahman, Penulis, Wartawan, Budayawan, Warga Sumedang, dalam pergaulan sehari-hari kerap dipanggil "Mang Ncus"
mantap..jero Mang..
BalasHapus