ALLAH Swt. Maharaja, raja diraja, raja dari segala raja. Demikianlah asmaul husna ketiga: Al-Malik.
Kata malik merupakan derivasi dari malaka-yamliku-mulkan yang terdiri dari tiga bentukan fonem /m/, /l/, dan /k/. Arti dasarnya sudah diserap kedalam bahasa Indonesia sendiri menjadi memiliki---terjemahan yang fonemnya tak jauh dari kata asal.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan milik sebagai kepunyaan; hak. Sementara raja
didefinisikan sebagai penguasa tertinggi pada suatu kerajaan.
Al-Qur’an sebagai sumber pengambilan asmaul husna sendiri menyebutkan malik dua belas kali. Tujuh ayat merujuk malik kepada manusia, misalnya dalam ayat-ayat berikut:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ
فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ
كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu. (QS Al-Kahf [18]: 79)
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ
اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ
الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً
مِنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً
فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya
Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Talut
memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu
daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab,
“Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan
fisik.” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 247)
Dan di lima ayat, malik merujuk kepada Allah
Swt. seraya memberi penegasan bahwa dialah malik yang sebenarnya:
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ
الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ
وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan
janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai
diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”
(QS Thaha [20]: 114)
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ
الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja,
Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara
Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan,
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al-Hasyr [59]: 23).
***
Anak bungsu saya sekarang usianya dua tahun.
Akhir-akhir ini secara instingtif, dia tengah belajar tentang kepemilikan. Contoh
kasus, awalnya dia tidak merespons apa pun kalau mainannya dimainkan oleh
kakaknya. Sekarang dia mulai protes, “Dede! Dede!” Mungkin maksudnya, “Aa, ini
punya Dede! Jangan dimainin!” Demikianlah terjadi dalam banyak kasus.
Rupanya dalam psikologi perkembangan anak, hal itu
memang bagian dari proses normal pertumbuhan anak. Dan, jika arahan orangtua
atas proses alamiah ini salah, walhasil sikap yang terbentuk di anak bakal
menjadi pelit dan serakah. Lantas, kenapa Allah memberi manusia rasa akan
kepemilikan sedemikian rupa sehingga tanpa arahan yang benar, menjadi
benih-benih keserakahan? Ataukah ini bagian dari upaya Allah memberi pengajaran
kepada manusia untuk bisa memahami-Nya, termasuk memahami tentang kepemilikan
Allah terhadap langit dan bumi beserta segala isinya? Kepemilikan Allah
terhadap manusia sendiri?
Saya teringat akan ungkapan seorang ulama sufi, Yahya bin Muadz Ar-Razi:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Artinya, “Barang siapa yang
mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Mengenal diri sendiri: karakter, pola, hal-hal
naluriah sebagai manusia, merupakan upaya untuk mengenal Tuhan, termasuk
tentang kepemilikan. Memiliki sesuatu adalah membentuk ikatan terhadap sesuatu
itu. Jika ikatan itu disadari sebagai ikatan yang tak abadi, maka tak mungkin
muncul sikap pelit dan serakah. Jika ikatan itu disadari sebagai ikatan
pemberian, ikatan yang diamanahkan, maka kenapa harus meratapi saat ikatan itu
diambil oleh si empunya?
Sertifikasi kepemilikan bumi. Tiba-tiba saya
teringat frasa ini. Tanah dan bumi ini milik siapa? Mengapa dunia dan manusia
menjadi seruwet ini jadinya?
إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ
وَمَنْ عَلَيْهَا وَإِلَيْنَا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya Kamilah yang mewarisi bumi dan semua yang
ada di atasnya, dan hanya kepada Kami mereka dikembalikan. (QS Maryam [19]: 40)
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ
مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah
(tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS Al-Anbiya’ [21]: 105)
Pertanyaannya, sesaleh apa kita sehingga berhak menjadi ahli waris Al-Malik?
0 comments:
Posting Komentar