16 Desember 2021

KISAH BUNDA RIZTI YANG MENGADOPSI ANAK PENGIDAP VIRUS HIV/AIDS DI SUMEDANG

 GELAGAT.ID - Terik matahari tak menyurutkan langkahnya melewati jalan desa berbatu. Berkali-kali ia menyeka keringat di kening, sebelum tiba di sebuah rumah semi permanen. Seorang anak laki-laki menyambutnya, mencium kedua tangannya. Dia balik mendekap, lalu menyapa anak itu, layaknya seorang ibu.

Rumah itu berada sekitar dua kilometer arah timur kawasan Bendungan Jatigede Kabupaten Sumedang. Anak laki-laki itu sebut saja Asep (bukan nama sebenarnya), jadi alasan penting mengapa Rizti Agralina, janda berusia 39 tahun, rela menempuh puluhan kilometer jarak dari rumahnya di kawasan Cileunyi Kabupaten Bandung.  Anak itu, telah divonis  positif mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV).

“Tuhan mempertemukan kami dalam warna kesedihan yang hampir sama, dan nurani tergerak begitu saja, spontan mendekapnya, menjadi ibu baginya,” kata Rizti, saat berbincang dengan saya, di rumahnya akhir tahun 2017.

Rizty memeluk Asep saat Launching Gerakan Pita Merah, 10 Nopember 2017

Asep telah sebatangkara. Ibunya yang wafat karena sakit. Beberapa bulan setelah itu, bapaknya pun meninggal dunia. Kedua orang tua Asep telah lama mengidap AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), penyakit yang dalam stigma sebagian orang adalah penyakit kutukan yang menjijikan.

Kini Asep tinggal bersama keluarga ibunya,  yang mungkin tidak faham dengan penderitaannya. Statusnya sebagai pengidap HIV dan keberadaan dia di pelosok ‘Kota Tahu’ itu terdeteksi oleh Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Sumedang.

“Suatu hari aku bertemu dengan Tita, teman semasa SMA. Dari dia aku tahu soal Asep. Dan entah mengapa, tiba-tiba hatiku bergetar, sedih, terharu, dan entahlah sulit ngomongnya harus gimana,” kata Rizti.

Dokter hewan lulusan Institut Pertanian Bogor itu  kemudian bertutur, masalah dan kesedihan hidupnya selama ini telah membuat jiwanya kering. Dia kehilangan anak semata wayangnya yang wafat di usia dua tahun. Tak lama setelah itu, dia pun bercerai dengan suaminya.  Kecuali sedikit teman dekat dan kolega yang menghiburnya, dia sendirian merasakan dan melewati kepedihan terhebat itu, hingga hatinya membatu.

Bila kesepian datang, traveling dan mendaki gunung jadi pilihan. Bila rasa rindu pada sang buah hati menghampiri, dipecahkannya menjadi air mata, lalu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Namun semua dirasakannya hampa, tak berarti. Hanya menghindar, tak menjawab tuntutan hati.

“Sampai aku mendengar soal Asep, mengunjunginya, dan jujur aku sampai nangis memeluk Asep. Aku merasa kesedihan Asep adalah kesedihanku, saat itulah aku bilang jadi Ibu asuh dia,” tuturnya.

Sejak saat itu Rizti mengaku merasa seperti ada dalam suasana pagi yang cerah. Bangun dengan gairah positif dan bergelora. Semangat hidup yang hilang selama ini entah ke mana, dirasakannya kembali. Dia mencoba memahami dan meyakini makna dan rasa kepedihan, dalam koridor nasib dan takdir Tuhan.

“Aku janda. Hidup sendiri, merasa mapan, tak ada beban, hidup berlangsung, dan waktu berlalu begitu saja. Tapi ternyata banyak hal yang bisa aku lakukan untuk bisa menjadi lebih berarti. Aku merasa, Tuhan membimbingku bertemu Asep,” ujarnya, sambil menyeka linangan air mata.

Asep telah membuat Rizti tersentuh dan faham, bahwa ada yang bernasib lebih pedih darinya dan membutuhkan uluran kasih sayangnya. Naluri ibu yang tak sempat dia wujudkan lebih lama, sebagian tercurah untuk Asep.

“Tadinya aku ingin Asep tinggal di rumahku, namun keluarga Asep tak mengijinkan. Biarlah, tak menghalangiku untuk berbuat demi dia. Aku menanggung keperluannya, untuk sekolahnya, pokoknya semua kebutuhan Asep, semampuku,” tandasnya.

Dan Asep pun menginspirasinya untuk melangkah lebih jauh. Dia tahu, bukan hanya Asep, anak-anak pengidap HIV yang tertular dari ayah dan ibunya. Asep dan anak-anak senasibnya, menjadi korban perilaku orang tua mereka. Dalam catatan KPA, ada 26 orang anak senasib Asep di Sumedang.

Dengan melihat satu sisi penyebab penyebaran dan penularannya, maklum bila stigma masyarakat menyebut HIV/Aids  sebagai penyakit kutukan atau murka Tuhan.  Tapi, terlahir sebagai pengidap HIV tentu saja bukan keinginan atau pilihan Asep dan anak-anak itu. Mereka tak berdaya, dan hanya menerima konsekuensi dari ‘dosa’ ayah-ibunya.

“Ada teman yang sempat nanya, apa kamu gak takut ketularan sama anak itu? Aku sempet kesel, spontan aku bilang, Hey..madam..Jadi ibu itu bukan dosa !. Ya mungkin temenku belum ngerti seperti apa HIV/Aids itu sebenarnya,” ujar Rizti

Saat terlahir ke dunia, sebagai bayi, Asep tidak bisa memilih. Asep dan anak-anak itu  tidak bisa menolak ibu dan bapaknya menularkan penyakit itu. Kehendak Tuhan-lah yang berbicara.

“Aku pun merasa begitu. Anakku sedang lucu-lucunya dipanggil Tuhan. Saat menikah, kami juga tak pernah bercita-cita untuk cerai. Aku tak berdaya, Asep tak berdaya, dan kita semua pada akhirnya tidak berdaya. Kita hanya bisa berbagi satu sama lain, untuk menjalani hidup,” ujar Rizti, sorot matanya nampak jauh menerawang.

Tentu saja kita tidak layak mempertanyakan kepada Tuhan mengapa begini dan begitu. Namun setiap kali kita meminta, Tuhan selalu memberi dengan cara yang kadang tak terduga. Dia Maha Kuasa, dan sangat mungkin membuat Asep dan anak-anak itu terhindar dari penularan. Tapi Tuhan membiarkan Asep tertular untuk menggugah sesama kita, bahwa peduli dan berbagi adalah salah satu cara kita menjadi berarti sebagai hamba-Nya. Setidaknya bagi Rizti. 

Pertengahan tahun 2019, Rizty menghubungi saya, meminta saya membantu mendaftarkan Asep ke sebuah pesantren di kawasan Angkrek Sumedang Utara. Dan ustadz pimpinan pondok pesantren itu begitu antusias menerima Asep, dengan segala kondisi dan statusnya sebagai pengidap HIV.Aids, menjadi santri di pesantren tersebut. 

"Mudah-mudahan jadi ladang ibadah bagi kita semuanya," kata Sang Ustadz

Namun hanya beberapa bulan saja, Asep menjadi santri. Tuhan lebih menyayanginya. Pertengahan Tahun 2020, ketika wabah Covid-19 menyerang dahsyat, imun tubuh Asep tak berdaya. Asep meminta pulang ke kampungnya. Di pangkuan neneknya, Asep menghembuskan nafas terakhirnya. 

"Saya menangis. Saya kembali merasa kehilangan. Satu hal yang saya sesali, saya tak sempat dulu bertemu, hanya bicara via telepon," kata Rizty. 

Demikianlah. (*/kurniawan)

Share:

Related Posts:

2 comments: