MALAM tahun baru adalah malam yang paling mendebarkan bagi sebagian remaja, kenapa bisa begitu karena dalam benak mereka ada segudang acara.
Pesta tahunan ini barangkali sudah menjadi tradisi yang bercampur aduk, akulturasi budaya sedemikian dahsyat menyerang semua ranah tak terkecuali pesta malam tahun baru. Serangan budaya ini bak tsunami 9 SC saking dahsyatnya seolah budaya asli sendiri terlupakan begitu saja.
Perayaan Tahun Baru pertama kali tercatat di Mesopotamia sekitar empat milenium lalu atau 2000 SM. Mereka merayakan pesta tahunan setiap tanggal 20 Maret.
Selain Mesopotamia ada beberapa negara lain yang juga mempunyai budaya perayaan di tanggal yang berbeda, sepertiMesir, Persia, namun mereka memperingatinya pada tanggal 20 September.Orang-orangYunani kuno memperingati awal TahunBaru mereka pada tanggal20 Desember.
Maka untuk mengakhiri semua perbedaan perayaan dan kebingungan ini JuliusCaesar mengakhirinya dengan membuat kalender baku yang mengikuti tahun matahari.
Pada tahun 46 SM ia memperkenalkan kalender Julian.
Dalam kalender ini Tahun Baru resmi ditentukan pada tanggal 1 Januari, tanggal ini bertepatan dengan waktu tahun bahwa bumi paling
dekat dengan matahari.
Selain itu penamaan Januari nama awal bulan
sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa Janus.Pada tahun 1582, Paus Gregorius
XIII mengubah kalender Julian dan menciptakan kalender Gregorian.Hingga hari
ini sebagian besar dunia menetapkan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun baru.
Di AS tahun baru dirayakan dengan pesta dengan meniup trompet juga pesta
kembang api.
Generasi Latah
Sampailah budaya ini di negeri kita, ditelan
bulat-bulatoleh generasi latah, generasi yang terbawa arus globalisasi budaya
tanpa tahu makna dibalik semua ritual tahun baru.
Anak-anak muda mulai turun kejalan-jalan dan
berkumpul di spot yang sudah di tentukan sebagai penanda awal tahun. Bahkan
panggung-panggung hiburan berjejer di sepanjang jalan. Tukang trompet laku
keras, satu hari itu saja dia bisa membawa pulang laba untuk anak istrinya bisa
sampai jutaan rupiah.
Mirisnya generasi latah mereka hanya ingin
menyalurkan hasrat saja. Mereka hanya menjadi objek budaya. Hingar bingar suara
petasan sudah terdengar diawal malam. Entah berapa milyar rupiah yang terbakar
dalam satu malam itu saja hanya untuk membeli kesenangan setahun sekali.
Jati diri bangsa menjadi hambar -kalau tidak
menyebut hilang,- budaya asing menyerang anak bangsa secara sengaja ataupun tak
sengaja. Padahal kita tahu trompet itu budaya siapa, kembang api itu budaya
siapa, dan yang paling prinsipiil adalah kita semua tahu bahwa pemborosan itu
budaya siapa.
Akan tetapi di dua tahun terakhir ini kebiasaan
itu mulai terlihat mereda. Mungkin karena pandemi covid -19 ada larangan
berkerumun dari pemerintah, atau kondisi ekonomi yang serba susah sehingga
berpikir seribu kali untuk menghamburkannya di perayaan Tahun Baru.
Membendung Budaya Asing dengan Memperkokoh Budaya Lokal
Tentu tidak mudah menghambat informasi di era
digital hari ini, bagaimana mungkin air bah informasi dapat dibendung hanya
dengan kerja biasa-biasa saja, perlu adanya formula khusus untuk menyalurkan
anak bangsa ini agar tidak tergerus terbawa hanyut oleh budaya yang sama sekali
akan merabut akar budayanya sendiri.
Pendalaman moral pendidikankah, atau pembatasan
informasi oleh pemerintah yang berwenang atau usaha apa pun agar bangsa yang
besar ini suatu saat tidak hilang ditelan zaman. Tapi mampu tetap hidup di atas
budayanya sendiri. Tidak menjadi generasi ikut-ikutan yang membebek membabi
buta. Tapi generasi yang mampu memfilter setiap pengaruh luar yang akan merusak
identitas bangsanya sendiri.
Kerjasama di semua ranah, seperti peran serta
pemerintah, para guru agama, tokoh masyarakat dan sebagainya. Untuk memastikan
bahwa bangsa ini tetap ada di jalur yang benar. Jangan sampai generasi
mendatang terasing di negeri sendiri. Semoga menjadi generasi yang bangga
dengan tradisi sendiri bukan menjadi generasi latah.
Penulis: Dudi Safari, Warga Kabupaten Sumedang
0 comments:
Posting Komentar